Jumat, 19 Desember 2008

Peraturan Wakaf Pada Masa Kolonial Belanda

Peraturan-peraturan tersebut antara lain adalah:
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Meskipun dalam surat edaran ini tidak diatur secara khusus tentang wakaf, akan tetapi dinyatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak bermaksud untuk menghalang-halangi orang Islam Indone­sia memenuhi keperluan keagamaan mereka. Pembatasan dalam pembuatan rumah ibadat baru boleh diadakan apabi­la dikehendaki oleh kepentingan umum. Surat edaran ini ditujukan kepada para Kepala Wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja dimana sepanjang belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar itu harus dicatat asal-usul tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk salat jum'at atau tidak ada pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak. Di samping itu setiap Bupati diwajibkan pula untuk membuat daftar yang memuat keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya (orang Bumi Putra) ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.[1] Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dan umat Islam karena orang yang berwakaf dalam praktiknya harus minta izin kepada Bupati, walaupun katanya hanya bermaksud untuk mengawasi. Reaksi tersebut sebenarnya merupakan penen­tangan terhadap campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam.[2] Oleh karena itu Pemerintah Kolonial mengeluar­kan surat edaran lagi pada tahun 1931.
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 125/3, tentang Toezich Van de Regeering op Mohamme­daansche bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Walau­pun dalam surat edaran ini terdapat beberapa perubahan Bijblad 6196 antara lain ditentukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat, rumah ibadat terse­but dipergunakan untuk salat Jum'at atau tidak, menca­tat asal usulnya dan berupa wakaf atau bukan. Bijblad 6196 harus diperhatikan dengan baik supaya diperoleh register harta benda wakaf. Namun demikian, untuk mewakafkan harta tetap diperlukan izin Bupati. Bupati menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu berada, dan maksud pendiriannya. Bupati memberi perin­tah supaya wakaf yang diizinkannya, dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan Agama. Dari setiap pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk digunakan sebagai bahan baginya dalam membuat laporan kepada kantor landrente.[3] Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran yang kedua ini, namun masih tetap ada reaksi dari pergerakan-pergerakan dan umat Islam, dengan alasan bahwa menurut umat Islam perwakafan adalah suatu tindakan hukum privat (meteriil privaatrecht). Mereka beranggapan bahwaperwakafan adalah pemisahan harta benda dari pemilikannya dan ditarik dari peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat. Oleh karena itu untuk sahnya tidak perlu izin dari pemerintah, bahkan pemerintah tidak perlu campur tangan.[4]
Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat edaran lagi, yakni Edaran Gubernemen tanggal 24 Desem­ber 1934 No. 3088/A sebagaimana termuat di dalam Bij­blad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdagdien­sten en Wakafs. Surat edaran ini sifatnya hanya memper­tegas apa yang disebutkan dalam surat edaran sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin usaha untuk mencari penyelesaian seandainya terjadi persengketaan dalam masyarakat dalam hal pelaksanaan salat Jum'at, asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya. Oleh karena itu Bupati harus mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak mematuhinya.[5]
Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan Surat Edaran Sekretaris Gubernement tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No. 13480 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohamme­daansche Bedehuizen en wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan. Di samping itu, dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukan kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat memper­timbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan setempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu dalam daftar yang disediakan untuk itu.[6]
Dalam surat edaran terakhir ini tampaknya masalah perwakafan tidak lagi diharuskan minta izin Bupati, tetapi cukup pemberitahuan kepada Bupati. Dalam hal ini Bupati memang mempunyai hak untuk mempertimbangkan, meneliti, apakah ada peraturan-peraturan umum atau peraturan setempat yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan wakaf. Jika ada, Bupati hanya berhak mengajukan wakaf tanah-tanah lain, kemudian tanah-tanah wakaf tersebut didaftarkan oleh Kepala Raad Agama atas perintah Bupati kemudian diberitahukan kepada asisten Wedana, kemudian asisten Wedana wajib melaporkan kepada Kepala Kantor Landrente (Kepala Agraria).[7]
[1] Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita (Bandung: Alumni, 1979), h. 20-21
[2] Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia (Yogyakarta: Dua Demensi, 1985), h. 6-7
[3] Abdurrahman, loc.cit.
[4] Imam Suhadi, loc.cit.
[5] Abdurrahman, op.cit, h. 22
[6] Ibid., h. 21-22
[7] Imam Suhadi, loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar