Salah satu bentuk kontak pemikiran antara satu tokoh dengan tokoh lainnya adalah dalam bentuk proses pendidikan antara guru dengan murid. Pengaruh gagasan pemikiran nantinya akan mengalir dan diteruskan oleh murid setelah sang guru tiada atau ketika sang murid telah berpisah dengan guru. Semangat dan bentuk pemikiran sering kali bisa dibaca sebagai change continiuty sebuah pemikiran dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman.
Namun demikian, belum tentu antara pemikiran guru dengan murid akan sama selamanya. Ada kalanya, akan berubah dengan situasi yang berbeda dihadapi oleh sang murid, karena pergerakan pemikiran selalu melalui proses dan melibatkan sosio kultural dimana pemikiran tersebut eksis.
Hal di atas berlaku atas al-Sayyid Muhammad Rasyîd bin Ali Ridhã. Ia berguru dengan Muhammad Abduh, sedangkan Muhammad Abduh berguru dengan Jamaluddin al-Afghani. Tiga tokoh ini memainkan peran besar dalam dunia pemikiran modern Islam.
Ada banyak kesamaan bentuk perjuangan dan semangat, namun tidak semua bisa disamakan antara ketiganya. Mereka telah pula punya konsep dan prinsip tersendiri. Hal ini diakui oleh Rasyîd Ridhã:
Aku mempunyai kesamaan dengan guru dalam menggunakan kebebasan berpikir dan mengemukakan argumentasi, baik dalam masalah agama maupun dalam masalah ilmu pengetahuan. Hal itu sudah menjadi syarat bagiku, sejak hari pertama aku menjadi muridnya. Aku telah banyak menimba ilmu pengetahuan, filsafat, dan pengajaran dari guru, namun aku tidak pernah bertaklid kepadanya. Banyak hal aku memang sepakat dengan guru, namun dalam beberapa hal aku tidak sepakat, bahkan aku menolaknya dengan argumen yang ada padaku. Kami mempunyai persamaan dalam prinsip, tujuan, motivasi dan niat.[1]
Makalah ini difokuskan untuk melihat lebih jelas corak teologi Rasyîd Ridhã dan perbedaannya dengan Muhammad Abduh[2], yang lebih dahulu memaparkan peta sosio kultural dan perjalanan singkat hidupnya.
B. Biografi
Rasyîd Ridhâ merupakan nama populer dari al-Sayyid Muhammad Rasyîd bin Ali Ridhâ bin Muhammad Syama Al bin Al-Kalamuny. Rasyîd Ridhâ lahir di suatu desa bernama Qalamun, yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli Lebanon, Suriah pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H (Oktober 1865 M). Ia hidup dalam keluarga dan lingkungan yang mengutamakan ilmu pengetahuan. Selain belajar dengan orang tuanya sendiri, ia belajar dengan beberapa guru.
Rasyîd Ridhâ menjadikan Al-Afghani dan Abduh sebagai idolanya, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide kedua tokoh tersebut. Meski tidak bertemu dengan Al-Afghani ia merasa puas dapat berdialog dengan Abduh.[3]
Ayah dan Ibu Ridhâ berasal dari keturunan al-Husayn, putera ‘Alî ibn Abî al-Thâlib dengan Fâthimah, puteri Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Rasyîd Ridhâ menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.
Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia tujuh tahun, Ridhâ dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional yang disebut kuttâb yang ada di desanya. Di lembaga itulah, Ridhâ mulai belajar membaca, menghapal al-Qur’an, menulis, logika dan matematika.[4]
Sempat tak melanjutkan secara formal jenjang pendidikannya untuk beberapa tahun, pada tahun 1882, ia meneruskan jenjang pendidikan di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyah. Sebuah sekolah nasional Islam di Tripoli yang didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr,[5] seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi ide-ide modern. Di madrasah ini selain diajarkan pengetahuan agama juga pengetahuan modern. Rasyîd Ridhâ belajar langsung dengan al-Syaikh Husain al-Jisr. Sekolah ini tidak lama beroperasi, karena bertentangan arus politik dengan pemerintah Usmani. Sekolah ini ditutup oleh pemerintah, namun hubungan Rasyîd Ridhâ dengan al-Syaikh Husain al-Jisr terus berjalan.[6]
Ridhâ bersentuhan dengan pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh berawal dari majalah al-Urwat al-Wutsqa. Bertemu langsung ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut, Ridhâ mendapat kesempatan berdialog. Perjumpaan dan dialog ini memperkuat kesan dan semangat untuk mengikuti arus pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh, yang kemudian menjadi gurunya.[7] Tahun 1897 Ridhâ merantau ke Mesir, ia menjadi teman dan murid yang setia dan sekaligus penyebar ide-ide Abduh. Tahun 1898, Ridhâ menerbitkan majalah berkala al-Manar, yang ketika itu merupakan suara pembaharuan Islam yang terpenting di dunia Arab. Gaungnya sampai ke nusantara. Bahkan, beberapa edisi sebelum terbit sudah dipesan dan telah terjual. Inilah corong untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran aktual bagi gerakan pembaruan Islam dan memajukan ummat Islam serta membebaskan mereka dari belenggu penjajahan.
Sepertinya Abduh, Ridhâ mengakui kesesuaian antara Islam dan modernitas. Abduh menekankan ijtihad dalam upaya menafsirkan kembali doktrin Islam dan memberi vitalitas baru. Hal ini berbeda dengan Ridhâ yang bersikeras untuk reformasi Islam. Hal ini, berkenaan dengan masa kehidupan Ridhâ terjadinya disintegrasi kekhalifahan Islam dan kolonialisasi. Di samping itu, arus adopsi kehidupan dan pemikiran barat sedang amat gencar.
Kepedulian terhadap kesatuan ummat Islam serta kelestarian identitas dan budayanya mendorong Ridhâ untuk menempatkan sumber-sumber asli Islam sebagai basis reformasi. Untuk melakukan reformasi ini, pada tahun 1912, Ridhâ mencoba memadukan pendidikan modern dengan ajaran agama. Penekanannya pada dakwah dan bimbingan. Ridhâ mendirikan sekolah dakwah (Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad) di Kairo. Ia dengan gigih menyuarakan umat dan khalifah. Gagasan-gagasannya membentuk pemikiran Islam moderat dan aktivis, yang mempengaruhi pemikir-pemikir Islam pada masa sesudahnya.[8]
Dimasa tua, kesehatan Ridhâ sering terganggu, ia tetap aktif untuk mewujudkan cita-cita reformasi Islam tersebut. Pengikut dan pengaruhnya sangat besar dan terasa terus digerakkan. Akhirnya, ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935. Ia meninggalkan segenap pemikiran yang dapat dibaca hingga hari ini.
C. Corak Teologi Rasyîd Ridhâ
Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam Islam dua[9] yaitu teologi rasional dan tradisional. Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu’tazilah[10] dan Maturidiyah Samarkand[11]. Sedangkan teologi tradisional dikenal dengan aliran Asy’ariyah[12] dan Maturidiyah Bukhara.[13]
Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak tuhan.
Ciri teologi rasional adalah: a. Akal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi, b. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara mendalam, c. Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.
Sementara itu, ciri-ciri teologi tradisional adalah, a. Akal mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal, b. Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak, c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.[14]
Dari ciri-ciri di atas, untuk mengetahui corak teologi Rasyid Ridhâ, maka harus ditinjau terlebih dahulu pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan teologi Islam. Permasalahan-permasalahan teologi Islam yang menjadi pembahasan dalam makalah ini antara lain, pemikiran tentang sifat-sifat Tuhan, kekuasaan, kehendak dan keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan kedudukan akal dan fungsi wahyu.
1. Sifat-Sifat Tuhan
Ridhâ mengakui dan menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bersifat azali dan kekal, sebab tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan tergambar dalam al-Asma’ al-Husna. Sifat Tuhan tidak sama dengan sifat manusia. Ilmu Tuhan tidak timbul seperti ilmu manusia dan tidak diperoleh melalui panca indera dan akal. Sifat Tuhan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara (laisa kamitslihi syai’un). Ridhâ menghindari pembahasan sifat dan zat Tuhan karena tidak dapat dijangkai akal manusia. Oleh karenanya, ia menafsirkan ayat-ayat zanny secara literal sebagaimana adanya dalam al-Qur’an. Ia berkeyakinan bahwa sifat-sifat jasmaniah pada Allah tidak sama dengan sifat-sifat jasmaniah pada makhluk.[15]
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa ayat-ayat tajassum harus diimani tanpa mempersoalkannya, sebab mempersoalkan hakikat sifat Tuhan. Mempersoalkan sifat Tuhan termasuk urusan bid’ah. Kemampuan akal manusia sangat terbatas untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari ayat-ayat tajassum (antropomorfisme).
Ridhâ terlihat sangat tradisional. Ia memberikan kedudukan yang amat rendah kepada akal manusia untuk mengetahui keberadaan tentang Tuhan, baik sifat maupun zat. Hal ini sejalan dengan pemikiran sang guru, Muhammad Abduh, yang pernah juga mengungkap hal demikian pada kitab Risãlah al-Tawhîd, bahwa memperbincangkan hal semacam ini dipandang tidak perlu.[16]
Dalam menafsirkan Surat al-A’raf [7] ayat 180;
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, aka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.[17]
Rasyîd Ridhâ menjelaskan, bahwa al-asma adalah jamak dari ism yang berarti nama. Ism adalah lafal yang hanya menunjukkan zat atau menunjukkan bersama salah satu dari sifat yang dimilikinya. Misalnya, al-rahmân (Yang Maha Pengasih). Al-Husnâ adalah jamak dari al-Ahsan, yang berarti baik. Dengan demikian, maksud dari firman allah di atas adalah, hanya Dia yang memiliki semua nama yang menunjukkan kepada sifat yang paling baik dan paling sempurna.[18]
2. Kekuasaan, Kehendak, dan Keadilan Tuhan
Rasyîd Ridhâ berpendapat, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak berlaku mutlak semutlak-mutlaknya sebagaimana pendapat Asy’ariyyah. Sebab kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, qada dan qadar, serta hukum kausalitas yang telah ditetapkan Tuhan. Qadar tidak bermakna bahwa sesuatu terjadi tanpa sebab atau perbuatan Allah dalam menciptakan sesuatu menyalahi peraturan dan sunnah.
Lebih jauh dikatakan Ridhâ, dalam melaksanakan kehendak, Tuhan tidak menjalankan semena-mena tetapi dengan sunnatullah yang telah berlaku pada makhluk dan alam. Hal di atas berbeda pula dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan, tuhan hanya menghendaki hamba-hamba mendapat petunjuk, beriman, dan menjadi orang-orang yang baik dan tidak pernah menghendaki mereka tersesat, kufur, dan menjadi orang jahat.[19]
Menafsirkan ayat yang menjadi pegangan alasan bagi aliran Asy’ariyyah, Rasyîd Ridhâ tidak secara harfiah. Misalnya dalam menafsirkan Surat Yunus [10] ayat 99.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?[20]
Rasyîd Ridhâ menafsirkan ayat tersebut, bahwa ayat tersebut menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat beriman dengan hanya bermodalkan pada kebebasannya dalam bebuat dan berkehendak yang telah dianugrahkan Allah kepadanya kecuali dengan izin Allah. Yang dimaksud dengan zin Allah di sini adalah, yang sesuai dengan kehendak dan sunnah-Nya dalam kemampuan menarjisalah satu dari dua hal yang kontrakdiktif. Hal itu karena ia hanya dapat memilih hal-hal yang masih dalam wilayah hubungan sebab akibat, tetapi tidak dapat lagi bebas dalam memilihnya secara mumpuni, karena ia selalu terikta dan dibatasi oleh sunatullah dan takdir-Nya. Kebebasan yang dinafikan dari seseorang itu adalah kemampuan keluar dari aturan-aturan umum tersebut, bukan kemampuan yang khusus yang sesuai dengan dirinya.[21]
Menurut Rasyîd Ridhâ, posisi pemahaman ayat di atas tidak berbeda dengan surat Âli Imrân [3]: 145:
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[22]
Maksud tiada ada seorangpun yang akan mati kecuali dengan kehendak-Nya yang sesuai dengan kebijaksanaan dan sunnah-Nya tentang sebab kematian. Bukankah berapa banyak yang telah menyediakn diri untuk mati syahid dengan menjalani sebab kematiannya ternyata tidak mati karena adanya halangan yang menyebabkannya tidak masuk dalam lingkaran takdir yang hanya Allah sendiri yang dapat mengetahuinya.[23]
3. Perbuatan-Perbuatan Tuhan
Semua aliran teologi dalam Islam sepakat menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan yang aktif, bukan tuhan Pasif. Tuhan setelah menciptakan alam semesta dan semua Makhluk-Nya yang ada di dalamnya, tidak tinggal diam, tetapi selalu aktif memelihara dan mengaturnya. Tuhan tidak dicitrakan dalam aliran diesme yang menyatakan bahwa setelah menciptakan alam, tuhan diam dan tidak lagi memperhatikan dan memeliharanya. Seperti halnya pembuat jam profesional yang tak lagi perlu memperhatikan dan mengatur perputaran jam tersebut karena jam sudah bisa berjalan sendiri, sesuai dengan mekanisme yang telah dibuat sebelumnya.[24] Pendapat Rasyîd Ridhâ dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat ar-Rahman [55]: 29:
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan[25]
Karena Allah adalah Tuhan yang aktif dan yang selalu sibuk, berarti Dia selalu menalukuan perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi, apakah dalam melakukan perbuata-perbuatan-Nya itu, Dia mempunya tujuan (ta’lîl af’âl Allah), para teolog Islam berbeda pendapat. Sebagaimana para teolog Islam dari berbagai aliran telah membahasnya, Ridhâ juga ikut membahasnya meskipun hanya dalam rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang telah dijadikan argumen oleh para teolog itu dalam memprkuatn pendirian masing-masing. Karena itu, untuk dapat mengetahui pendirian Ridhâ tentang perbuata-perbuatan Allah, terlebh dahulu perlu dilacak pada penafsirannya terhadap ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu, antara lain surat Âli ’Imrân [3]: 191, al-An’âm [6]: 73, Yûnus [10]:5, dan al-Nis^a’ [4]: 78-79:
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.[26]
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.[27]
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).” Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?[28]
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.[29]
Ketika menafsirkan surat Âli ’Imrân [3]: 191, Ridhâ menyatakan, yang dimaksud pada ayat tersebut adalah, semua yang diciptakan Allah membawa hikmah dan kebenaran. Sedangkan surat al-Anâm [6]: 73, Ridhâ menyatakan, bahwa Allah yang telah menciptakan langi dan bumi dengan perintah pasti dan benar; dan ciptaan-Nya itu sekaligus pula merupakan tanda-tanda kebenaran-Nya, yang tegak dengan sunah-sunah yang telah ditentukan-nya, yang mengandung hikmah tinggi dan bukti keberadaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu, Dia tidak menciptakan langit dan bumi untuk hal yang sia-sia dan percuma.[30]
Ridhâ berprinsip, perbuatan tuhan membawa hikmah dan kebaikan kepada makhluk. Dalam hal ini, ia bersepakat dengan pendirian Mâturîdiyyah, yang mengatakan perbuatan Allah membawa hikmah dan kebaikan kepada manusia namun bukan merupakan sesuatu yang wajib diwujudkan oleh Allah, karena Dia adalah Tuhan yang bebas berkehendak. Perbuatan Allah tidak ada yang sia-sia, bahkan semuanya membawa. Semua perintah, larangan dan ciptaan-Nya mempunyai tujuan. Meskipun demikian nilai perbuatan Allah, ia tak mewajibkan diri untuk mewujudkannya karena Tuhan bersifat Maha Bijaksana. Tuhan mempunyai hak untuk membatasi perbuatan dan kehendak-Nya. Untuk menyikapi kehendak Tuhan, menurut Ridhâ, manusia membutuhkan rasul.[31]
4. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu, terutama terhadap empat masalah utama, yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Menurut Mu’tazilah, akal mampu untuk mengetahui keempat masalah tersebut. Wahyu hanya berfungsi sebagai konfirmasi, meskipun dalam hal-hal tertentu juga berfungsi sebagai informasi. Demikian juga halnya dengan aliran Maturidiyah Samarkand, pendapatnya dekat dengan Mu’tazilah. Sedangkan menurut Asy’ariyah, akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui Tuhan sedangkan tiga masalah lainnya hanya mampu diketahui lewat wahyu. Dalam pandangan aliran ini wahyu berfungsi sebagai informasi. Demikian juga halnya dengan Maturidiyah Bukhara, aliran ini sependapat dengan Asy’ariyah.
Menurut Ridhâ, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebut secara rinci dalam al-Qur’an dan hadits serta untuk mengetahui ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat atau kehidupan duniawi. Dalam bidang ibadah khassah akal tidak mampu mengetahuinya.[32] Objek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyakatan bukan dalam bidang ibadah khassah, karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan, sedangkan persoalan ibadah khassah tidak mengalami perubahan. Menurutnya akal penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat al-Qur’an dan meneliti hadits nabi dan pendapat sahabat.
Akal manusia tidak dapat mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan tinggi. Dalam pandangan Ridhâ, wahyu lebih banyak berfungsi sebagai informasi dari pada konfirmasi. Wahyu berfungsi memberikan informasi tentang segala perincian terhadap apa-apa yang diinformasikan wahyu. Oleh karenanya, wahyu memiliki posisi penting lagi tinggi.
Wahyu dalam pandangan Ridhâ berfungsi untuk memberikan informasi kepada manusia tentang persoalan-persoalan keyakinan bersyukur kepada Allah dan memberikan ketentuan umum dan bersifat garis besar tentang perbuatan-perbuatan yang ditetapkan syari’at.[33]
Merujuk apa yang dikatakan Harun Nasution, corak pemikiran seperti ini, sesuai dengan corak teologi tradisional. Dalam hal ini, Ridhâ amat tradisional dalam memahami fungsi akal dan wahyu. Namun demikian, menurut hemat penulis, Ridhâ adalah seorang yang amat hati-hati untuk memainkan peran akal secara lebih dari padan peran wahyu.
Membaca dan memahami corak teologi Ridhâ dapat dipahami, ia sangat tradisional. Buktinya, untuk urusan akal dan fungsi wahyu, ia lebih akrab dengan teologi tradisional. Dalam hal kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat, pendapatnya lebih dekat kepada teologi rasional. Dalam hal perbuatan dan keadilan, ia berada pada pendapat rasional.
Sebagai bukti pengakuan Ridhâ dalam menempatkan posisi akal, dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ [4]: 165 dan al-Isrâ’ [17]: 15:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[34]
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.[35]
Dalam menafsirkan ayat pertama, Ridhâ mengatakan bahwa hikmahnya Allah mengutus para rasul antara lain agar di akhirat nanti orang-orang yang dihisabkan Allah tidak dapat berdalih atas perbuata dosa mereka. Pengertian ayat pertama dan semua yang senada dengan itu adalah sekiranya Allah tidak mengutus para Rasul-Nya, di akhirat nanti di orang-orang akan memprotes kenapa mereka dihukum di akhira dan dihukum di dunia. Padahal, hukuman mereka teri itu adalah akibat kelaliman sendiri.[36]
D. Perbedaan Corak Teologi dengan Abduh
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, Rasyid Ridhâ dengan Muhammad Abduh berhubungan sebagai murid dan guru. Namun pemikiran keduanya tidak melulu sama. Perbedaan yang dapat diungkapkan sementara dalam bidang teologi sebagai berikut:
1. Abduh lebih rasional dari pada Ridhâ. Namun Ridhâ tetaplah rasional. Menurut Ridhâ, akal hanya dipakai terhadap ajaran-ajaran tentang kehidupan tetapi tidak dalam ibadah. Oleh karenanya, ijtihad dalam soal-soal kemasyarakatan diperlukan, sedangkan dalam bidang ibadah tidak dapat digunakan. Disinilah letak dinamika Islam dalam pandangan Ridhâ. Di sisi lain, Abduh berpendapat, penggunaan akal manusia dapat dipakai dalam memahami segala persoalan. Menurutnya, ajaran Islam (wahyu) sangat rasional, sesuai dengan akal manusia, sehingga apa bila ada yang tidak sesuai dengan akal, ia akan menangguhkan pemakaiannya, dan mencari tafsirannya sehingga sesuai dengan pendapat akal.
2. Ridhâ masih terikat dengan mazhab fiqih dan aliran pemikiran dengan bukti, ia menyandarkan pendapat pada Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Abduh tidak terikat sama sekali.
3. Ridhâ menafsirkan ayat tajassum (antropomophisme) secara literal. Abduh lebih bebas lagi, ia menafsirkan ayat dengan makna tersirat dari yang tersurat. Misalnya, kursi Tuhan ditafsirkan dengan pengetahuan Tuhan.
4. Ridhâ memaknai tentang balasan di akhirat (al-Baqarah: 25) secara jasmani. Abduh memaknai dengan balasan secara rohani.[37]
E. Penutup
Bila dianalisa dengan kriteria teologi yang menurut Harun Nasution, maka pemikiran teologi Rasyid Ridhâ bercorak rasional khusus dalam bidang kehidupan duniawi. Hal ini sesuai dengan visi pergerakannya, membangun ummat Islam dari keterpurukan. Membebaskannya dengan mempelajari lebih dalam ajaran Islam dan berpikir atas ajaran tersebut. Lalu menjadikan ajaran sebagai landasan hidup untuk mengalahkan penjajahan.
Sebaliknya, pada bidang ibadah pemikiran Rasyid Ridhâ sangat tradisional. Ia begitu hati-hati dalam mengamati dan menyentuh wilayah aqidah. Pada bidang ini, ia banyak menganut paham Asy’ariyyah. Bila dirinci, Ridhâ dekat dengan Matuduriyyah Samarkand, kecenderungan yang amat besar pada rasionalitas pada bidang sosial. Tetapi khusus membicarakan persoalan ketuhanan, Ridhâ berusaha membongkar bentuk konvensional pemahaman tradisional. Tetapi corak tradisional masih terlihat jelas dan lebih banyak menunjukkan kompromi.
Dibandingkan dengan sang guru, Muhammad Abduh, Rasyîd Ridhâ tetap rasional tetapi tidak serasional sang guru. Menurut Ridhâ, akal hanya dipakai terhadap ajaran-ajaran tentang kehidupan tetapi tidak dalam ibadah. Oleh karenanya, ijtihad dalam soal-soal kemasyarakatan diperlukan, sedangkan dalam bidang ibadah tidak dapat digunakan. Namun demikian, aqidah yang mantap dan kokoh akan dinamis bila berhadapan dengan persoalan duniawi. Di sinilah peran aqidah mempengaruhi dinamika etos kerja. Bila aqidah statis dan pasrah, maka etos kerja akan lemah. Ridhâ masih terikat dengan mazhab fiqih dan aliran pemikiran dengan bukti, ia menyandarkan pendapat pada Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Inilah perbedaan mencolok dengan sang guru. []
KEPUSTAKAAN
A. Athaillah, Rasyid Ridhâ: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr, (Jakarta: Erlangga, 2006)
Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006)
Akhmad Taufik MPd, M Dimyati Huda, MAg, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta; Rajawali Pers, 2005)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jld I, Cet. Ke-1, (Jakarta: Logos, 1417 H/1997 M)
Fahd al-Rûmî, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Haditsah fî al-Tafsîr, (Beirut: Mu’asssasah al-Risâlah, 1402 H/1981 M)
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. Ke-9.
____________, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), cet Ke-5
____________, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2002)
Jhon L. Esposito, Ensiklopedia Oxpord: Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001)
Muhaimin, Pembaruan Islam, (Yogyakarta: Pustaka, 2000)
Mulyadhi Kartanegara dalam Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon Terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007)
Noer Iskandar al-Barsany, DR, KH. MA, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur al-Maturidi, Perbandingan dengan Kalam Mu’tzilah dan Al-Asy’ari, (Jakarta: Srigunting, 2001)
Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, cetakan ke-2, Jilid III, IV, IX, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.,)
Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, (Padang, IAIN-IB Press, 2003)
___________, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997)
Saifullah MA, Perkembangan Modern dalam Islam: Tokoh dan Gerakan Pembaharuan Islam di Kawasan Timur Tengah, (Padang, IAIN IB Press, 1999)
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992)
http://www.alquran-digital.com, (Agustus 2004)
[1]Fahd al-Rûmî, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Haditsah fî al-Tafsîr, (Beirut: Mu’asssasah al-Risâlah, 1402 H/1981 M), h. 172.
[2]Kuliah sebelumnya telah dibahas corak teologi Muhammad Abduh. Menurut pemakalah sebelumnya, Riki Saputra, corak teologi Muhammad Abduh bercorak rasional dan liberal. Kecenderungan tersebut dipaparkan dengan beberapa perbandingan dengan pemikiran dasar dari Mu’tazilah.
[3]Akhmad Taufik MPd, M Dimyati Huda, MAg, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). hal. 102. Bandingkan dengan, A. Athaillah, Rasyid Ridhâ: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 26.
[4]A. Athaillah, ibid.
[5]Meski Husain al-Jish, seorang ulama modern, ia justru pemimpin tarekat Khalwatiyyah yang berguru dengan al-Qawâqijî, pengikut tarekat Syâdziliyyah. Tentu saja hal ini juga tersentuh dalam kehidupan Rasyîd Ridhâ, dimana, mereka adalah orang-orang yang sangat gandrung dengan tasawuf. Baca lebih lanjut dalam, A. Athaillah, ibid, hal. 29.
[6]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 806-807.
[7]ibid
[8]Jhon L. Esposito, Ensiklopedia Oxpord: Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001) Jilid 5, hal. 81-82
[9]Walau sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tjuh mazhab; Khawarij, Murjiah, Jabbariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Baca, Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 26
[10]Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131 H/699-748 M), kemudian didikung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226 H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai (235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al-Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis, tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya, aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar.
[11]Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi (421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah, antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokoh oleh al-Maturidy sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany, MA, Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi, Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari, (Jakarta: Srigunting, 2001).
[12]Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali (250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajran-ajarannya banyak bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah, Aliran ini masih dominant hingga saat ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab Syafi’I dan Maliki.
[13]Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, (Padang, IAIN-IB Press, 2003) hal. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), cet Ke-5, hal. 66.
[14]Catatan kaki dalam Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), cet. Ke-2, h. 1-2.
[15]Ini berlawanan dengan Muhammad Abduh yang tidak mengakui adanya sifat tuhan. Sifat bagi Abduh sudah termasuk dalam esensi tuhan. Kalau tuhan bersifat, artinya tuhan masih memerlukan sesuatu yang berada di luar zatnya, yaitu sifat-sifat, berarti terdapat sesuatu yang lebih tinggi dari pada zat tuhan. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2002), hal. 71.
[16]A. Athaillah, loc.cit, hal. 92.
[17]http://www.alquran-digital.com/, (Agustus 2004)
[18]Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, cetakan ke-2, Jilid IX, (Beirut: D^ar al-Ma’rifah, t.th.,) hal. 429-430
[19]ib.id, hal. 265
[20]http://www.alquran-digital.com/, (Agustus 2004)
[21]Rasyîd Ridhâ, op. cit, 484
[22]http://www.alquran-digital.com/, (Agustus 2004)
[23]op.cit, Jilid III, hal 70
[24]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jld I, Cet. Ke-1, (Jakarta: Logos, 1417 H/1997 M), hal. 88
[25]http://www.alquran-digital.com/, (Agustus 2004)
[26]ibid
[27]ibid
[28]ibid
[29]ibid
[30]Rasyîd Ridhâ , Tafsir al-Manâr, Jld IV, (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, t. th.), hal. 200.
[31]Amsal Bakhtiar, ib.id, hal. 168
[32]ib.id, hal. 375
[33]Muhaimin, Pembaruan Islam, (Yogyakarta, Pustaka, 2000), h. 29-31.
[34]http//:www.alquran-digital.com
[35]ib.id
[36]Rasyîd Ridhâ, op.cit, hal. 388
[37]Baca lebih lanjut dalam, A. Athaillah, Rasyid Ridhâ: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr, Jakarta: Erlangga: 2006). Bandingkan dengan Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. Ke-9. Juga dapat dilihat di Saifullah MA, Perkembangan Modern dalam Islam: Tokoh dan Gerakan Pembaharuan Islam di Kawasan Timur Tengah, (Padang, IAIN IB Press, 1999).
Jumat, 12 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar